A.
Latar Belakang
Awal reformasi di sambut oleh
bangsa Indonesia dengan suka cita, euforia karena telah terbit fajar baru yang
selanjutnya di ikuti dengan demokratisasi dalam segala bidang, namun dalam
perjalanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sungguh
memprihatinkan sehingga mengundang kita semua untuk ikut bertanggung jawab atas
retaknya mosaik Indonesia, hingga hilang keindahannya. Seperti krisis politik,
krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan, krisis moral, dan budaya menjadi
orientasi nilai di kalangan masyarakat yang sejauh ini telah hilang.
Kehidupan berbangsa di era
reformasi melahirkan berbagai keinginan antara lain keinginan untuk lepas dari
pemerintahan otoriter dan membentuk pemerintahan baru yang di harapkan lebih
baik lagi bagi bangsa ini, sehingga akan mempercepat tercapainya tujuan bangsa
yaitu “masyarakat yang adil dan makmur”. Keinginan untuk mengedepankan sifat
keterbukaan/transparansi, good goverment, dan akuntabel menjadi isu nasional
yang selalu hangat agar rakyat sebagai
pemegang kedaulatan bisa memonitor dan mengontrol secara langsung semua
kebijakan yang dilakukan pemerintah, keinginan untuk mengeluarkan pendapat secara
lebih bebas dan keinginan untuk menuntut hak-haknya, semuanya ini terbingkai
dalam kata “demokratisasi”. Demokrasi menjadi kata sekaligus senjata yang
ampuh, kata dan senjata yang oleh bangsa dan negara manapun di agungkan serta
di junjung tinggi, oleh karena itu begitu ampuhnya demokrasi memiliki pengaruh
yang sangat dahsyat dalam segala aspek kehidupan, baik itu politik, ekonomi,
sosial budaya, pendidikan dan lain sebagainya.
Namun mari sejenak kita lihat
bersama apa yang selama ini sudah terjadi pada bangsa kita seabagai akibat dari
kesalahan dalam mengartikan “demokrasi”? Konflik serasa tidak pernah surut,
pada kalangan mahasiswa/pelajar sering terjadi tawuran antar mahasiswa, tawuran
antar pelajar (siswa), konflik antar lembaga negara seperti konflik KPK vs
POLRI, bentrok antar masyarakat, bentrok antar pendukung kesebelasan sepakbola,
konflik setelah PILKADA, dan sebagainya. Kemudian pertanyaannya dimanakah budi
luhur yang selama ini dimiliki bangsa ini? Apakah era demokrasi ini hanya
wahana untuk menyalurkan aspirasi secara brutal, bebas melanggar hukum, dsb?
Untuk apakah kekuasaan, keadilan, pendidikan dan pembangunan? Jangan-jangan
kita hanya membangun fisiknya saja tanpa disertai bangunan jiwa. Banyak
pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan berbangsa dan beregara hanya mengejar
lahiriah dan saat ini bangsa kita sudah kebablasan, bukan lagi praktik democracy tapi democrazy. Lihatlah sikap dan perilaku kehalusan budi pekerti,
sopan santun, toleransi, kerukunan, rasa malu, solidaritas sosial, gotong royong,
semua sikap dan perilaku ini sudah jarang terlihat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, sungguh ini menjadi persoalan yang sangat memprihatinkan.
Tentunya bangsa ini tidak ingin nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
Pancasila yang sejatinya merupakan karakter bangsa hilang begitu saja dari
memori kolektif bangsa ini, karena Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip,
dibahas, apalagi diterapkan baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan,
kebangsaan maupun kemasyarakatan. Untuk itu dalam blog ini saya ingin mencoba
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas, utamanya apa peran dan
posisi pendidikan kewarganegaraan dalam pendidikan karakter bangsa?
B.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
Pendidikan Pancasila dan Kewaganegaraan
(PPKn) adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan jati diri yang
beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk
menjadi warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang sesuai dengan yang
diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas 2004). Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan mengalami perkembangan sejarah yang sangat panjang, yang
dimulai dari Civics, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan (kurikulum 2004), sampai yang
terakhir kembali lagi menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(kurikulum 2013).
Sejak kelahirannya (tahun 1973)
sampai dengan sekarang, Pendidikan Kewarganegaraan mengalami perkembangan yang
menentukan bagi perjalanan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Hal ini
terbukti bahwa dalam penyelenggaraan kurikulum perguruan tinggi, Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) senantiasa ditemukan sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri.
Secara akademik Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan adalah progam pendidikan yang berfungsi untuk
membina kesadaran warga negara dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan jiwa dan nilai konstitusi yang berlaku (UUD 1945). Dalam penjelasan
Pasal 37 (2) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
ditegaskan bahwa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta
tanah air, Sebagai progam pendidikan.
Berdasarkan pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa progam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menekankan
pada kompetensi (kemampuan) peserta didik (subjek belajar) untuk memiliki
wawasan kebangsaan dan cinta tanah air. Kompetensi ini merupakan panggilan
konstitusi dan ketentuan UU yang harus
direalisasikan dalam praktik dan kinerja pendidikan dan pengajaran tidak saja
bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi, namun juga bagi siswa di sekolah menengah atas
(SMA), siswa di sekolah menengah pertama (SMP), dan siswa di sekolah dasar
(SD).
Sebagai progam pendidikan,
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tergolong dalam mata kuliah
yang strategis dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, di samping mata
kuliah lain yaitu Pendidikan Agama. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
mengemban misi dalam mempersiapkan generasi bangsa yang bermoral, bertanggung
jawab, tangguh dalam mengatasi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang
berpengaruh pada eksistensi dirinya. Kompetensi yang demikian mesti di imbangi
dengan kemampuan berfikir ke arah pemahaman dan pengamalan jiwa pada
nilai-nilai pancasila (yang dipersiapkan melalui mata kuliah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan) dan pengamalan nilai-nilai ajaran agama (melalui
Pendidikan Agama) yang diyakini oleh masing-masing Individu.
Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan termasuk pendidikan untuk menjadi (educational for becoming), yang menekankan garapannya pada upaya
pembentukan manusia; yakni mahasiswa yang memiliki kesadaran dalam melaksanakan
hak dan kewajibannya terutama kesadaran akan wawasan nasional dan pertahanan
keamanan nasional. Secara demikian, progam Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan dalam pelaksanaannya mengharuskan adanya perhatian yang seksama
bagi pembinanya (Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), dengan
pemikiran yang cermat diharapkan proses pembelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan mampu mencapai misi yang telah ditetapkan.
Demikian penting tugas yang harus
dilaksanakan oleh mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
maka penyelenggaranya mengharuskan adanya persamaan presepsi di antara dosen
pembina baik terhadap eksistensi (keberadaan) mata kuliah ini maupun cara-cara
dalam pengambilan keputusan dalam proses pembelajaran mahasiswa terhadap materi
mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
C.
Tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn)
Secara
progamatik, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di tujukan pada
garapan akhir yaitu pembentukan warga negara yang baik dan bermoral yang sesuai
dengan jiwa serta nilai-nilai pancasila dan UUD 1945. Rasionalnya, bahwa
Pancasila dan UUD 1945 ditetapkan sebagai norma dan parametrik kehidupan
nasional Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ditinjau dari cara kerjanya yang bergerak dalam lingkungan pendidikan,
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bertujuan untuk membentuk kualitas
kepribadian warga negara yang baik, bermoral, dan cinta tanah air.
Kriteria
warga negara yang baik dapat digali dari beberapa kualitas kepriadian sebagai
perwujudan dari potensi yang melekat pada diri seseorang warga negara. Stanley
E. Dimond (1970), memberikan deskripsi kualitas kepribadian warga negara yang
baik, maliputi beberapa atribut; (1) Loyal, (2) Orang yang selalu belajar, (3)
Seorang pemikir, (4) Bersikap demokratis, (5) Gemar melakukan tindakan
kemanusiaan, (6) Pandai mengatur diri; dan (7) Seorang pelaksana.
Cogan
(1998) menegaskan bahwa warga negara yang baik harus memiliki kemampuan untuk;
(1) menjawab tantangan global, (2) bekerja sama dengan orang lain, (3) menerima
dan toleransi terhadap perbedaan budaya, (4) berfikir kritis dan sistematis,
(5) menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, (6) mengubah gaya hidup konsumtif
guna melindungi lingkungan, (7) kepekaan terhadap hak azasi manusia, (8)
partisipasi dalam pemerintahan local, nasional dan global.
Target
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dalam kerangka sistem
pendidikan nasional dipusatkan pada kredibilitas kepribadian warga negara dan
mampu berpartisipasi dalam kehidupan bebangsa, bernegara, dan bermasyarakat
menurut kriteria konstitusi. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraa (PPKn)
juga bertujuan untuk memperluas wawasan dan menumbuhkan kesadaran warga negara,
sikap serta perilaku cinta tanah air, yang bersendikan pada kebudayaan bangsa,
moral, wawasan nusantara dan ketahanan nasinal. Dengan demikian warga negara
diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan memecahkan
masalah yang dihadapi dalam bermasyarakat tanpa menggunakan unsur kekerasan,
sehingga tujuan dari pada Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan itu sendiri
berjalan secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita nasional
sebagaimana digariskan dalam UUD 1945.
Referensi
Prof.
Zamroni, Ph.D. 2003. “Pendidikan Kewarganegaraan”.
Yogyakarta. LP3 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Untari,
Sri. 2012 “Mewujudkan Generasi Emas
Indonesia yang Berkarakter dan Berjiwa Pancasila”. Malang. Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Malang.
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 37 (2) tentang Sistem Pendidikan Nasional.