Senin, 17 Juni 2013

Hukum Tata Usaha Negara


v  Pengertian dan Istilah Hukum Administrasi Negara (HTUN)
Hukum Tata Usaha Negara adalah arti luas dari pada Hukum Tata Negara. Hukum Tata Usaha Negara dalam hal ini diartikan sebagai Kaidah/Hukum tentang tatanan yang mengatur hubungan antara Negara dengan Warga negaranya, dalam konteks ini hubungan yang dimaksud adalah yang berkaitan/bersinggungan dengan perihal administrasi. Contohnya Pejebat Ekskutif (Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota) yang mengeluarkan keputusan tertulis kepada jajarannya atau bawahannya, keputusan tertulis ini lah yang kemudian disebut administrasi/keputusan administrasi sehingga dalam perkembangannya disebut juga sebagai Hukum Tata Usaha Negara.
Dalam arti luas hukum tata negara meliputi Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Usaha Negara, sedangkan dalam arti sempit yaitu Hukum Tata Negara tersebut. Berbicara mengenai Hukum Tata Usaha Negara, maka tidak akan lepas dengan adanya peradilan Tata Usaha Negara.
Hukum Administrasi Negara (HTUN) berasal dari Belanda yang disebut Administratif recht atau Bestuursrecht yang berarti Lingkungan Kekuasaan/ Administratif diluar dari legislatif dan yudisil. Di beberapa negara terdapat istilah atau penyebutan lain mengenai hukum administrasi negara ini, diantara : di Perancis disebut Droit Administrative, di Inggris disebut Administrative Law, di Jerman disebut Verwaltung recht, dan di Indonesia sendiri banyak istilah yang digunakan  untuk mata kuliah ini seperti Hukum Tata Usaha Negara, Pengantar Hukum Administrasi, Hukum Administrasi Negara, dll.
1.      E. Utrecht dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Administrasi pada cetakan pertama memakai istilah hukum tata usaha Indonesia, kemudian pada cetakan kedua mennggunakan istilah Hukum tata usaha Negara Indonesia, dan pada cetakan ketiga menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara Indonesia.
2.      Wirjono Prajokodikoro, dalam tulisannya di majalah hukum tahun 1952, menggunakan istilah “Tata Usaha Pemerintahan”.
3.      Djuial Haesen Koesoemaatmadja dalam bukunya Pokok-pokok Hukum TataUsaha Negara, menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara dengan alasan sesuai dengan Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970.
4.      Prajudi Armosudidjo, dalam prasarannya di Musyawarah Nasional Persahi tahun 1972 di Prapat mengunakan istilah Peradilan Administrasi Negara.
5.      W.F. Prins dalam bukunya Inhiding in het Administratif recht van Indonesia, menggunakan istilah, Hukum Tata Usaha Negara Indonesia.
6.      Rapat Staf Dosen Fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia bulan Maret 1973 di Cirebon, memutuskan penyebutan istilah Hukum Administrasi Negara dengan alasan Hukum Administrasi Negara pengertiannya lebih luas dan sesuai dengan perkembangan pembangunan dan kemajuan Negara Republik Indonesia kedepan.
7.      Surat Keputusan Mendikbud tahun 1972, tentang Pedoman Kurikulum minimal Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, meggunakan istilah. Hukum Tata Pemerintahan ( HTP ).
8.      Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970 dan TAP MPR No. II/1983 tentang GBHN memakai istilah Hukum Tata Usaha Negara.
9.      Surat Keputusan Mendikbud No. 31 tahun 1983, tentang kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Hukum menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara.
Istilah Hukum Administrasi Negara ( HAN ) atau Hukum Tata Usaha Negara (HTUN) atau Hukum Tata Pemerintahan ( HTP ) di Negeri Belanda disatukan dalam Hukum Tata Negara yang disebut Staats en Administratiefrecht. Pada tahun 1946 di Universitas Amsterdam baru diadakan pemisahan mata kuliah Administrasi Negara dari mata kuliah Hukum Tata Negara, dan Mr. Vegting sebagai guru besar yang memberikan mata kuliah Hukum Administrasi Negara.
Ø  Tahun 1948 Universitas Leiden mengikuti jejak Universitas Amsterdam memisahkan Hukum Administrasi Negara dari Hukum Tata Negara yang diberikan oleh Kranenburg.
Ø  Di Indonesia sendiri sebelum perang dunia kedua pada Rechtshogeschool di Jakarta diberikan dalam satu mata kuliah dalam Staats en administratiefrecht yang diberikan oleh Mr. Logemann sampai tahun 1941.
Ø  Baru pada tahun 1946 Universitas Indonesia di Jakarta Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara diberikan secara tersendiri. Hukum Tata Negara diberikan oleh Prof. Resink, sedangkan Hukum Administrasi Negara diberikan oleh Mr. Prins.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat di simpulkan bahwa Ilmu Hukum Administrasi Negara adalah ilmu yang sangat luas dan terus berkembang mengikuti tuntutan Negara/masyarakat, sehingga lapangan yang kan digalinya pun sangat luas dan beranekan ragam dengan adanya peran atau campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat.

v  Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya. Pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power).
Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya.
Namun, perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein, salah satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata Usaha Negara bisa dikatakan belum profesional dan belum berhasil menjalankan fungsinya.
Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya serta dukungan yang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tidak bisa dirampas.
Kemudian setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun 2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No. 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara.
Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden.
v  Tujuan Dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara melengkapi 3 peradilan lain yaitu Mahkamah Agung, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer sebagai pelaksana peradilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Keberadaan PTUN bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bernegara dan berbangsa yang sejahtera, aman, tentram, dan tertib. Karena itu, diperlukan persamaan di depan hukum yang tidak hanya mengatur warga negara dengan warga negara, tetapi juga antara warga negara dengan pemerintah.
Sejatinya Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman untuk rakyat yang mencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Sengketa tata usaha negara yang dimaksud adalah sengketa yang terjadi antara badan atau kantor tata usaha negara dengan warga negara. PTUN diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya. Dalam hal ini, sengketa timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan pemerintah yang melanggar hak-hak warga negara
Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah: defenitif, artinya perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan
  1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu.
  2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan melalaui peradilan.
Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum. Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah:
  1. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;
  2. Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;
  3. Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
  4. Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
  5. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.
v  Subyek Dan Obyek Hukum Administrasi
Menurut ilmu hukum istilah subyek hukum berasal dari bahasa belanda rechtsubject atau law of subject dalam bahasa inggris. Secara umum subyek hukum adalah orang/manusia/badan hukum.
Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi pokok suatu hubungan/keterkaitan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum. Obyek hukum biasanya disebut juga dengan benda ( Zaak ) atau segala sesuatu yang dibendakan. Dalam konteks ini obyek hukum dalam Hukum Tata Usaha Negara adalah keputusan tertulis/surat tertulis (keputusan administrasi)
v  Prosedur Berita Acara dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Objek sengketa dalam PTUN adalah keputusan tertulis pejabat administrasi negara (beschikking). Seperti diketahui, seorang pejabat administrasi negara mempunyai kewenangan melakukan freis ermessen berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Freis ermessen tersebut akan berbentuk beschikking yang berlaku secara konkrit, individual dan final bagi orang atau badan hukum yang merugikan sasaran keputusan tertulisnya. Untuk mengontrol hal itulah, maka PTUN dibentuk, yaitu sebagai sarana bagi masyarakat untuk melindungi kepentingan individunya dari kekuasaan pemerintah. Dimaksud dalam hal ini karena pejabat administrasi mempunyai kewenangan, maka tidak tertutup kemungkinan ia akan melakukan sesuatu yang merugikan bawahannya/warga negara lainnya.
Setiap keputusan TUN (KTUN) dapat digugat oleh individu/badan hukum perdata, yang terkena dampak langsung dari KTUN tersebut. Gugatan tersebut dapat diajukan melalui dua cara, yang pertama melalui upaya administratif (Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004) atau melalui PTUN (Pasal 50 UU No. 9 Tahun 2004).
Bagi sengketa yang diajukan melalui PTUN, terhadap putusannya dapat dilakukan upaya banding melalui PT TUN (Pasal 51 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004) sedangkan bagi sengketa yang diajukan melalui upaya administratif, penyelesaian melalui lembaga peradilan dapat langsung diajukan ke PT TUN (Pasal 51 ayat (3) UU No. 9 Tahun 2004) dan terhadap kedua upaya hukum ini dapat dilakukan kasasi melalui Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004).
Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan Seperti telah dikemukakan diatas mengenai tujuan PTUN, yaitu memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Selasa, 07 Mei 2013

PENDIDIKAN PANCASILA dan KEWARGANEGARAAN SALAH SATU PILAR DALAM PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA


A.    Latar Belakang
Awal reformasi di sambut oleh bangsa Indonesia dengan suka cita, euforia karena telah terbit fajar baru yang selanjutnya di ikuti dengan demokratisasi dalam segala bidang, namun dalam perjalanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sungguh memprihatinkan sehingga mengundang kita semua untuk ikut bertanggung jawab atas retaknya mosaik Indonesia, hingga hilang keindahannya. Seperti krisis politik, krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan, krisis moral, dan budaya menjadi orientasi nilai di kalangan masyarakat yang sejauh ini telah hilang.
Kehidupan berbangsa di era reformasi melahirkan berbagai keinginan antara lain keinginan untuk lepas dari pemerintahan otoriter dan membentuk pemerintahan baru yang di harapkan lebih baik lagi bagi bangsa ini, sehingga akan mempercepat tercapainya tujuan bangsa yaitu “masyarakat yang adil dan makmur”. Keinginan untuk mengedepankan sifat keterbukaan/transparansi, good goverment, dan akuntabel menjadi isu nasional yang selalu  hangat agar rakyat sebagai pemegang kedaulatan bisa memonitor dan mengontrol secara langsung semua kebijakan yang dilakukan pemerintah, keinginan untuk mengeluarkan pendapat secara lebih bebas dan keinginan untuk menuntut hak-haknya, semuanya ini terbingkai dalam kata “demokratisasi”. Demokrasi menjadi kata sekaligus senjata yang ampuh, kata dan senjata yang oleh bangsa dan negara manapun di agungkan serta di junjung tinggi, oleh karena itu begitu ampuhnya demokrasi memiliki pengaruh yang sangat dahsyat dalam segala aspek kehidupan, baik itu politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain sebagainya.
Namun mari sejenak kita lihat bersama apa yang selama ini sudah terjadi pada bangsa kita seabagai akibat dari kesalahan dalam mengartikan “demokrasi”? Konflik serasa tidak pernah surut, pada kalangan mahasiswa/pelajar sering terjadi tawuran antar mahasiswa, tawuran antar pelajar (siswa), konflik antar lembaga negara seperti konflik KPK vs POLRI, bentrok antar masyarakat, bentrok antar pendukung kesebelasan sepakbola, konflik setelah PILKADA, dan sebagainya. Kemudian pertanyaannya dimanakah budi luhur yang selama ini dimiliki bangsa ini? Apakah era demokrasi ini hanya wahana untuk menyalurkan aspirasi secara brutal, bebas melanggar hukum, dsb? Untuk apakah kekuasaan, keadilan, pendidikan dan pembangunan? Jangan-jangan kita hanya membangun fisiknya saja tanpa disertai bangunan jiwa. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan berbangsa dan beregara hanya mengejar lahiriah dan saat ini bangsa kita sudah kebablasan, bukan lagi praktik democracy tapi democrazy. Lihatlah sikap dan perilaku kehalusan budi pekerti, sopan santun, toleransi, kerukunan, rasa malu, solidaritas sosial, gotong royong, semua sikap dan perilaku ini sudah jarang terlihat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sungguh ini menjadi persoalan yang sangat memprihatinkan. Tentunya bangsa ini tidak ingin nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila yang sejatinya merupakan karakter bangsa hilang begitu saja dari memori kolektif bangsa ini, karena Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dibahas, apalagi diterapkan baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Untuk itu dalam blog ini saya ingin mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas, utamanya apa peran dan posisi pendidikan kewarganegaraan dalam pendidikan karakter bangsa?
B.     Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
Pendidikan Pancasila dan Kewaganegaraan (PPKn) adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan jati diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang sesuai dengan yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas 2004). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan mengalami perkembangan sejarah yang sangat panjang, yang dimulai dari Civics, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan (kurikulum 2004), sampai yang terakhir kembali lagi menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (kurikulum 2013).
Sejak kelahirannya (tahun 1973) sampai dengan sekarang, Pendidikan Kewarganegaraan mengalami perkembangan yang menentukan bagi perjalanan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Hal ini terbukti bahwa dalam penyelenggaraan kurikulum perguruan tinggi, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) senantiasa ditemukan sebagai mata kuliah  yang berdiri sendiri.
Secara akademik Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah progam pendidikan yang berfungsi untuk membina kesadaran warga negara dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan jiwa dan nilai konstitusi yang berlaku (UUD 1945). Dalam penjelasan Pasal 37 (2) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ditegaskan bahwa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, Sebagai progam pendidikan.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa progam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menekankan pada kompetensi (kemampuan) peserta didik (subjek belajar) untuk memiliki wawasan kebangsaan dan cinta tanah air. Kompetensi ini merupakan panggilan konstitusi dan ketentuan UU  yang harus direalisasikan dalam praktik dan kinerja pendidikan dan pengajaran tidak saja bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi, namun juga bagi siswa di sekolah menengah atas (SMA), siswa di sekolah menengah pertama (SMP), dan siswa di sekolah dasar (SD).
Sebagai progam pendidikan, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tergolong dalam mata kuliah yang strategis dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, di samping mata kuliah lain yaitu Pendidikan Agama. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan mengemban misi dalam mempersiapkan generasi bangsa yang bermoral, bertanggung jawab, tangguh dalam mengatasi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang berpengaruh pada eksistensi dirinya. Kompetensi yang demikian mesti di imbangi dengan kemampuan berfikir ke arah pemahaman dan pengamalan jiwa pada nilai-nilai pancasila (yang dipersiapkan melalui mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) dan pengamalan nilai-nilai ajaran agama (melalui Pendidikan Agama) yang diyakini oleh masing-masing Individu.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan termasuk pendidikan untuk menjadi (educational for becoming), yang menekankan garapannya pada upaya pembentukan manusia; yakni mahasiswa yang memiliki kesadaran dalam melaksanakan hak dan kewajibannya terutama kesadaran akan wawasan nasional dan pertahanan keamanan nasional. Secara demikian, progam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam pelaksanaannya mengharuskan adanya perhatian yang seksama bagi pembinanya (Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), dengan pemikiran yang cermat diharapkan proses pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan mampu mencapai misi yang telah ditetapkan.
Demikian penting tugas yang harus dilaksanakan oleh mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) maka penyelenggaranya mengharuskan adanya persamaan presepsi di antara dosen pembina baik terhadap eksistensi (keberadaan) mata kuliah ini maupun cara-cara dalam pengambilan keputusan dalam proses pembelajaran mahasiswa terhadap materi mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
C.    Tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)

Secara progamatik, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di tujukan pada garapan akhir yaitu pembentukan warga negara yang baik dan bermoral yang sesuai dengan jiwa serta nilai-nilai pancasila dan UUD 1945. Rasionalnya, bahwa Pancasila dan UUD 1945 ditetapkan sebagai norma dan parametrik kehidupan nasional Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ditinjau dari cara kerjanya yang bergerak dalam lingkungan pendidikan, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bertujuan untuk membentuk kualitas kepribadian warga negara yang baik, bermoral, dan cinta tanah air.
Kriteria warga negara yang baik dapat digali dari beberapa kualitas kepriadian sebagai perwujudan dari potensi yang melekat pada diri seseorang warga negara. Stanley E. Dimond (1970), memberikan deskripsi kualitas kepribadian warga negara yang baik, maliputi beberapa atribut; (1) Loyal, (2) Orang yang selalu belajar, (3) Seorang pemikir, (4) Bersikap demokratis, (5) Gemar melakukan tindakan kemanusiaan, (6) Pandai mengatur diri; dan (7) Seorang pelaksana.
Cogan (1998) menegaskan bahwa warga negara yang baik harus memiliki kemampuan untuk; (1) menjawab tantangan global, (2) bekerja sama dengan orang lain, (3) menerima dan toleransi terhadap perbedaan budaya, (4) berfikir kritis dan sistematis, (5) menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, (6) mengubah gaya hidup konsumtif guna melindungi lingkungan, (7) kepekaan terhadap hak azasi manusia, (8) partisipasi dalam pemerintahan local, nasional dan global.
Target Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dalam kerangka sistem pendidikan nasional dipusatkan pada kredibilitas kepribadian warga negara dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bebangsa, bernegara, dan bermasyarakat menurut kriteria konstitusi. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraa (PPKn) juga bertujuan untuk memperluas wawasan dan menumbuhkan kesadaran warga negara, sikap serta perilaku cinta tanah air, yang bersendikan pada kebudayaan bangsa, moral, wawasan nusantara dan ketahanan nasinal. Dengan demikian warga negara diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam bermasyarakat tanpa menggunakan unsur kekerasan, sehingga tujuan dari pada Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan itu sendiri berjalan secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita nasional sebagaimana digariskan dalam UUD 1945.

Referensi

Prof. Zamroni, Ph.D. 2003. “Pendidikan Kewarganegaraan”. Yogyakarta. LP3 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Untari, Sri. 2012 “Mewujudkan Generasi Emas Indonesia yang Berkarakter dan Berjiwa Pancasila”. Malang. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 37 (2) tentang Sistem Pendidikan Nasional.